Follow kami di: Twitter , Tumblr, Wordpress, dan Facebook

#PsikologiKorupsi oleh @bagustakwin | dikirim oleh @rayapan

Menyuap aparat, ‘mark-up’, dan meminta tambahan uang jasa dianggap sebagai perilaku adaptif oleh banyak orang Indonesia.

Meski korupsi dinilai buruk, di Indonesia ada ‘norma tersembunyi’ yg membenarkannya dlm rangka adaptasi dengan lingkungan.

Salah satu akar korupsi di Indonesia: Inkongruensi antara ‘dunia kehidupan’ yg dihayati orang Indonesia dan ‘struktur formal’ Indonesia.

Hampir semua mahasiswa yg mencontek menilai mencontek buruk. Begitu juga pd pelaku korupsi. Ada kesenjangan nilai & prilaku.

Rendahnya/tiadanya keyakinan diri akan mampu memenuhi kebutuhan hidup scr memadai berkorelasi positif dgn perilaku korup.

Pelaku korupsi merasa mendapat ‘reward’ dari perilaku korup, salah satunya mereka merasa dapat memenuhi nafkahnya.

Faktor2 korupsi: Ketakyakinan bisa hidup layak dgn bekerja, persepsi buruknya sistem, perolehan reward, & norma implicit.

Faktor2 korupsi: kehendak lemah (kencerungan lepas tanggungjawab, lokus kendali eksternal) dan kecemasan akan masa depan.

Pelaku korupsi andalkan keberuntungan/nasib baik (fortuna) ketimbang keutamaan (virtue); merasa diri lemah hadapi godaan.

Peta kognitif pelaku korupsi pisahkan skema ttg diri-sendiri & kehidupan sosial. Kalaupun digabung, organisasinya inkoheren.

Perilaku korupsi seringkali dibenarkan oleh motif lain yg sejalan dg nilai tertentu, mis: Korupsi supaya ada dana ‘taktis’.

Ada orang-orang yg korupsi tetapi merasa telah melakukan hal baik. Mereka merasa dgn korupsi banyak bisa berjalan baik.

Ada juga yg menganggap korupsinya bisa dimaafkan karna uangnya untuk ibadah atau dipakai menolong ‘Robin Hood syndrom’.

Nilai-nilai yg dimiliki pelaku korupsi seringkali tak koheren dengan norma subyektifnya.

Intensi korupsi seseorang lebih dipengaruhi oleh persepsi tentang kendali dirinya yg lemah untuk jauhi tingkahlaku korupsi.

Banyak orang merasa hal yg mendukung korupsi lebih banyak daripada hal yg menghambatnya meski percaya korupsi tak gampang.

Banyak orang Indonesia merasa mendapat kesulitan ketika mereka berusaha tidak korupsi.


***

Jika kemanusiaan menjadi dasar maka pemberian remisi bagi koruptor adalah kesalahan. Belas kasihan pada pelaku korupsi adalah sesat pikir.

Di tengah usaha pemberantasan korupsi, pemberian keringanan kepada koruptor bukan hanya bunuh diri, melainkan juga merusak kehidupan sosial.

Di Indonesia, banyak koruptor yang setelah bebas dari tahanan tetap kaya raya. Mereka seperti menikmati keuntungan usaha, hidup melimpah.

Pemberian remisi kepada koruptor adalah ekspresi dari pikiran fragmentaris, inkonsisten, dan tak konstruktif, bahkan destruktif.

Akar kejahatan adalah memaksakan hasrat dan kepentingan partikular jadi universal; memaksakan kepentingan pribadi jadi kepentingan publik.

Kejahatan bisa ada pada siapa saja; bisa pada orang kebanyakan, bisa juga pada pejabat, pimpinan negara, dan orang-orang terpandang lainnya.

Pemberian grasi dan remisi, apapun alasan dan aturan formal yg dipakai, mestinya sejalan dengan ikhtiar mencapai kehidupan bersama yg baik.

No comments:

Post a Comment