Tubuh itu fiktif. Kuasa itu selalu kuasa atas tubuh: biopower. Tubuh kita tidak pernah lepas-bebas. Selalu dalam signifikasi.
Kuasa atas tubuh itu kuasa sosial atas tubuh termasuk pikiran… meskipun tidak berarti sekaligus totalisasi atas tubuh.
Kuasa atas tubuh adalah kuasa yg simbolik atas tubuh.
Tubuh pada awalnya bagian “sang nyata” (boleh juga disebut kaosmos dalam Deleuze), tapi setelah fase cermin tubuh tersignifikasi.
Pemisahan body-mind itu itu kategori diskursif.
Dualisme kategori diskursif juga yg muncul sejak Plato, terus dilanjutkan oleh Descartes.
Politik kita politik tanpa agonisme, tidak ada demarkasi mana hitam mana putih. Semua berjalan tanpa prinsip. Yg ada akomodasi dan harmoni.
Kekosongan agonisme dan ide politik ini disubstitusi dengan politik bawah tangan, pamer moral dan imagologi.
Pada Sartre ketakjelasan itu dibiarkan sebagai absurditas, dalam politik kita ketakjelasan itu dimaksudkan untuk harmoni/totalisasi.
Satu-satunya pihak yg berhak mengadili dan menghukum Ariel adalah kaum perempuan: bukan negara bukan para hipokrit!
Apakah Viagra: kata Zizek Viagara adalah bentuk kimiawi super ego posmodernis…
Karena itu hukumnya bergeser dari aku harus maka aku bisa menjadi aku bisa maka aku harus. Itulah viagra dsb.
Adagium super ego modern: aku harus maka aku bisa. Adagium superego posmo aku bisa maka aku harus.
Lagi pula dalam sejarah dari desa justru kita menemukan banyak subyek radikal…
Manusia kontemporer berada dalam persimpangan dua super ego: super ego Kantian dan super ego Sadean. Memerintah-jangan, memerintah-nikmati.
Dulu Id tapi karena mekanisme baru kapitalisme jadi superego. dulu memerintah dengan melarang. Sekarang Memerintah tapi untuk menikmati.
Manusia manapun bisa “dipanggil” oleh sistem simbolik/ideologi apapun tapi pada saat yg sama manusia selalu bisa melampauinya.
Karena isu video itu isu yg gurih dimanfaatkan untuk orang pamer moral, pamer citra dan pamer ideologi.
Respon itu juga menunjukkan kemiskinan imajinasi dari politisi. SBY belagak pamer moral untuk mendapatkan keuntungan simbolik.
Second psikoanalisis, pamer moral dalam protes urusan video secara ironis diam2 menunjukkan wabah penis envy. Iri terhadap tubuh di video.
Yg berhak menghukum ariel bukan presiden/pengadilan tapi kaum feminis/perempuan.
Bagi Lacanian, dalam case video ada kastrasi ganda. Kastrasi 1 pencurian koleksi pribadi dan disebarluas. 2 pembuatnya yg malah dihukum.
All society yg mengidap penis envy mau merampas jouissance “para aktor video” via hukum, moral dsb. Penis envy transforms into fascism.
Penis envy drives authorities to punish ariel, steal his Jouissance and punish his body by socially castrated him.
Negara menghukum Ariel utk mengakomodasi mereka yg cemburu dengan “jouissance”nya Ariel…
Dengan menghukum Ariel negara menjadi instrumen dari fantasi mereka yg cemburu dengan “jouissance” Ariel…
Harus dieksplisitkan karena jangan2 penyakit yg sama juga mengidap kita sendiri.
Jouissance dari bahasa Prancis, padanan Inggrisnya enjoyment tapi dalam psikoanalisa dikenali sebagai “pleasure in pain”.
Karena bukankah kita semua paham kalau fantasi dan cemburu bisa bersembunyi dalam puisi.
Semua yg berada di bawah fungsi falus pengidap cemburu.
"Politik Penis" oleh @robertus_robet | dikirim oleh @rayapan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment