Follow kami di: Twitter , Tumblr, Wordpress, dan Facebook

#ied @gm_gm

Selamat siang. Tadi pagi belum sempat menyalami. Ada persoalan teknis menjelang Lebaran: tak ada waktu buat nge-twit. #ied


Hari-hari ini serasa kembali waktu tinggal di luar negeri: semuanya dikerjakan sendiri. Ada asyiknya, yg pasti banyak repotnya. #ied


Saya jadi ingat film Sergio Arau, “A Day without a Mexican” (2004). Pd suatu hari, di California tiba2 seluruh penduduk Latino raib. #Ied


Penduduk Latino (imigran legal atau illegal) minoritas terbesar di California. Mereka tukang kebun, penuai, pencuci mobil guru dst. #ied


Orang kulitputih California (yg spt umumnya orang Amerika tak tahu geografi) menyebut semua Latino “Mexican”. #ied


Itu indikasi mereka sebenarnya tak peduli banget ttg “ras” lain yg bekerja utk hidup mereka itu. Bahkan mereka dianggap ancaman. #Ied


Nah, ketika seluruh orang Latino mendadak raib, (konon ada kabut misterius), California kelabakan. Siapa yg akan kerja kasar di situ?


Jakarta hari-hari ini spt California ditinggalkan pekerja kasar yg selama ini nyaris tak dipandang. Penyapu jalan, pesuruh kantor, dll.


Kalau dipikirkan, ganjil juga: kota yg berjejal ini pelan2 jadi sepi, dan jutaan manusia meninggalkannya, dgn segala cara. #Ied


“Mudik” itu menunjukkan hubungan yg mendua antara “Jakarta” (dan mungkin juga kota lain) dan “udik” . #Ied


Di satu pihak, Jkt punya segala macam daya tarik untuk tinggal. Tapi di lain pihak, sedikit orang yg merasa diri “orang Jakarta”. #Ied


Jakarta tampaknya tak punya “patriot”. Ini mungkin menyebabkan tak tampak kemauan penghuni utk merawat kota ini. #Ied


Dulu Ali Sadikin berhasil membuat orang Jakarta bangga jadi penghuni kota ini, krn perbaikan yg dirasakan dan krn sosok gubernurnya. #Ied


Sejak Ali Sadikin tak lagi gubernur, Jkt seperti kehilangan sosok yg bisa menyatukan dan menggerakkan masyarakat. #Ied


Tapi memang tak mudah men-Jakarta-kan penduduk. Seorang sosiolog pernah melihat, yg terjadi bukan “urbanisasi” tapi juga “ruralisasi”. #Ied


Penduduk dari udik datang, tapi kondisi kota sendiri tak menyebabkan perilaku penduduk baru itu jadi “orang kota”. #Ied


Itu sebabnya di tahun 1968 (?) Usmar Ismail membuat sebuah film ttg Jakarta dengan judul “The Big Village”. #Ied


Tapi dlm sejarah Indonesia, kota memang bukan merupakan dunia yg benar-benar berbeda dgn udik. #Ied


Dlm sejarah Eropa, kota selalu ditandai oleh tembok. Bahasa Belanda lama menyamakan “tuin” sbg “kota” dan “dinding”. #Ied


Kata “kota” sendiri konon dari bhs Sanskerta yg juga berarti “tembok”. Ini kata seorang teman India kpd saya. #Ied


Tapi penggalian arkeologis di Indonesia praktis tak menemukan hunian manusia yg berupa kota, kecuali di Trowulan, Jawa Timur. #Ied


Jadi belum jelas, sejauh mana “tembok” atau batas jelas antara kota dan udik. #Ied


Di dlm sejarah Eropa, kota merupakan semacam tempat berlindungnya orang2 merdeka, yg lepas dari penguasa feodal di pedalaman #Ied


Di kota Eropa dulu, baik Raja maupun kaum feodal tak bisa mencengkeram penghuni, yg kemudian disebut kaum “burjuis”. Mereka “swasta”. #Ied


Kata “burjuis” atau “bourgeois” berasal dari kata “bourg”, kota tempat perdagangan. #Ied


Kaum burjuis yang mandiri ini yg mendukung kota hidup dlm kemerdekaan dari kontrol Gereja dan Raja dan kaum Feodal. #Ied


Krn suasana yg merdeka dan penuh inovasi, banyak sastrawan dan intelektuil Eropa akrab dgn kota: Penyair Baudelaire, eseis Walter Benjamin.


Berbeda dari Amerika. Di th1962 ada buku Morton & Lucia White yg menguraikan sikap intelektual Amerika: “”Intellectuals against the City”.


Pemikir yg kemudian jadi Presiden, Thomas Jefferson, anggap kota sbg “penyakit sampar bagi moral, kesehatan dan kebebasan manusia”.#Ied


Penulis mashur Henry David Thoreau lebih memilih tinggal di gubuknya di hutan ketimbang “kota yang putus asa”. #Ied


Di Indonesia, para penyair zaman “Poedjangga Baroe” tak bicara ttg kota, meskipun mereka penganjur modernitas. #Ied


Mereka suka memuja sawah dgn padi yg menguning, desa yg menurut mereka tenang dan tenteram. #Ied


Sama spt para pelukis zaman itu: Dezentjé (1885-1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-1936), dan Wakidi (1889-1980)


Padahal para penyair dan pelukis yg memuja “dusun” itu umumnya tinggal di kota, tak kenal bhw di desa banyak penderitaan. #Ied


Ada pengarang2 sehabis kemerdekaan yg anggap Jakarta tak murni, beda dari pedalaman, seakan-akan ada yang “murni” di zaman sekarang. #Ied


Tapi dlm sejarah Indonsia, belum ada semangat anti-kota yg ekstrim. Di Kamboja, rezim Khmer Merah dgn paksa memindahkan orang ke desa.#Ied


Dlm sejarah politik Cina, pernah ada strategi Marsekal Lin Biao yg dirumuskan sebagai “desa mengepung kota”. Sekarang ditinggalkan #Ied


Di Indonesia, meskipun para intelektuilnya bicara kritis ttg kota, dlm kesadaran se-hari2 orang lebih merendahkan orang “udik”. #Ied


Tapi mengapa jutaan orang memilih “mudik” dgn cara yg sepayah-payahnya, tiap menjelang Ied? Itu juga tanda sikap mendua. #Ied


Sekian. Skrg saya hrs kembali kerja. “Arbeit macht frei” (Kerja itu membebaskan), kata semboyan di gerbang kamp konsentrasi Nazi. Hmm.

No comments:

Post a Comment