Baru saja saya terpikir, mungkin perlu kul-twit pendek ttg pornografi.
Apa dan mana yg disebut “pornografi” dan yg bukan, tak mudah, dan tiap batasan apa yg “jorok” berubah tetus dlm sejarah.
Orang pertama (yg diketahui) yg bicara seks secara eksplisit: Publius Ovidius Naso, yg dlm kepustakaan bhs Inggris disebut “Ovid”.
Ovidius (lahir tahun 43 Sebelum Masehi) menulis Ars Amatoria, “Kiat Seks”. Ttg teknik dalam hubungan seks dan nasihat ttg itu.
Kitab “Kama Sutra” yg lebih tersohor, ditulis di antara abad ke-4 dan ke-6. Oleh Mallanaga Vatsyayana.
Seorang murid Anand Krishna (yg dituduh “pelecehan seksual”) pernah kasih lihat “kama sutra” karya sang guru. Saya geli membacanya.
Tapi tak usah kita bicarakan karya Anand Krishna, ya. Sekedar menunjukkan: dari zaman kuno sampai kini, ada ambivalensi ttg seks.
Di negara bagian Madya Pradesh, India, terkenal Kuil Khajuraho. Relief dan patung2-nya melukiskan adegan seks yg jelas, seru, ribet.
Kuil ini dibangun antara th 950-1050, di bawah kemaharajaan Chandel. Dari 85 kuil, kini tinggal 22. Kenapa menampilkan erotika?
Ada legenda ttg pembangun kuil itu: Hemavati, putri cantik seorang brahmana, suatu malam mandi di Sungai Rati. Dewa bulan merayunya.
Si gadis hamil. Dikutuk oleh masyarakat, ia lari ke dlm hutan di India Tengah. Anaknya lahir. Hemaati jadi ibu serta gurunya #porno.
Anak itu, Chandravarman, itulah pendiri dinasti Chandela. Suatu hari sang raja mimpi. Ibunya memintanya membangun kuil istimewa.
Yakni kuil yg menggambarkan gairah nafsu manusia, dan dgn itu menunjukkan kehampaan hasrat insani.
Tapi ada teori lain ttg erotika di Khajuraho: utk mengajar anak2 laki yg sebelumya hidup di pertapaan sbg “brahmachari”, ttg seks.
Saya blm pernah lihat sendiri kuil Khajuharo, tapi dari foto-fotonya saya jadi setuju kesimpulan Noel Coward: membosankaaaaann.
Erotika purba lain di puing kota Pompeii, di timur laut Napoli. Spt diketahui, kota ini dikubur oleh abu letusan G. Vesuvius, th 79.
Kota yg terkubur itu digali di abad ke-18. Maka diketemukanlah puluhan fresko ttg adegan sex. Dunia pun asyik, gempar, lalu malu.
Kini fresko porno itu disimpan di Museum Arkeologi di Napoli, di “Gabinetto Segretto”, atau kamar rahasia, pakai pintu besi segala.
Pelbagai pemerintahan Italia bingung dgn fresko Pompeii ini. Mereka bangga ttg sejarah Italia tapi juga takut dituduh “tak bermoral”.
Raja2 Bourbon, yg memerintah Italia Selatan ketika erotika Pompeii ditemukan, menyembunyikannya.
Di tahun 1820-an, bbrp fresko dipamerkan di museum. Tapi sebentar. Raja Francisco I takut, kalau itu dilihat isteri + putrinya.
Maka dibangunlah “Ruang Khusus utk Benda2 Jorok”. Yg boleh lihat cuma “mereka yg berusia matang dan moralitasnya dikenal”.
Gara-gara ruang khusus & pengumuman itu, orang tambah ingin tahu. Ketika Garibaldi berkuasa di tahun 1860-an, publik boleh lihat.
Tapi semasa raja2 Savoy, kembali itu barang disembunyikan. Apalagi selama rezim fasis Mussolini: totalitarianisme anti-erotika.
Sampai akhir tahun 40-an, perlu izin khusus dr pemerintah utk lihat erotika Pompeii. Tentu saja ada pasar gelap surat ijin.
Kaum agama berpendapat, gara2 kecabulan itulah kota Pompeii dihukum Tuhan dgn dikubur oleh ledakan G. Vesuvius. Tapi apa benar?
Yg pasti, Pompeii bukan satu-satunya kota zaman Romawi di mana erotika leluasa. Dan justru abu Vesivius itu yg “merawat”-nya.
Italia, kalah di Piala Dunia, tak kalah dlm soal beginian. Konon pionir pornografi modern orang sana: Pietro Aretino (1492-1556).
Di tahun 1524, Aretino menuis 16 soneta ttg posisi sex dgn gambar2 erotik karya Giulio Romano, murid pelukis hebat, Raphael.
Tapi di Italia juga ada Gereja Katolik, yg tentu saja tak suka pornografi. Tahun 1896, Gereja mengutuk satu adegan dlm sebuah film.
Film itu versi layar putih dari lakon “Janda Jones”. Adegan yg dikutuk Gereja: adegan ciuman. Panjangnya: 20 detik.
Selain Gereja Katolik dan rezim fasis dan komunis yg anti-erotika, ada satu negara yg paling galak dlm soal ini: Amerika Serikat.
Maksud saya, AS negara paling galak di “Barat” yg melawan “pornografi” — warisan semantat Puritan (Kristen) yg datang ke benua itu.
Maaf, “kul-twit” ini akan jeda sekitar setengah jam. Nanti disambung. Harap tetap jangan nonton TV yg bicara terus soal…. #porno.
Kembali ke Kul-twit. Saya pernah menulis ttg ini di waktu y.l., Bagi yg sudah baca, ada hal2 yg tak baru yg saya katakan di sini.
Yg sdh disebut (dan bisa dicari di Google) adalah kasus novel terkenal, “Lady Chaterley’s lover”, yg pernah dicoba sensor di AS.
Novel ini akhirnya diloloskan. Tapi sikap anti-porno tak berakhir. Di bawah George W. Bush, itu prioritas, selain anti-teror.
Sekitar Agustus 2005, FBI bentuk “anti-obscenity squad”, mengikuti agenda Jaksa Agung waktu itu. Banyak yg mentertawakan.
Tampak, banyak ambivalensi dan dilema dlm soal pornografi ini. Di Jepang, ada riset ttg pengaruh pornografi pada kekerasan seks.
Sebelum saya sebutkan hasil riset itu, baiklah saya ceritakan sedikit ttg karya seni rupa yg disebut “ukiyo-e”.
Tentu teman2 ada yg pernah melihatnya: gambar adegan seks, gabugan “emaki’ (gambar di kertas gulungan) yg naratif dan dekoratif.
Adegan2 itu diambil imajinasinya dr dunia hiburan di kota Edo (kini Tokyo) di masa Tokugawa (1603-1876), “dunia yg mengapung”.
Dlm gambar2 itu, penetrasi genital tampak, dgn sedikit dilebih-lebihkan, tentu. Meskipun para pelaku tak telanjang bulat.
Penampilan genitalia ini yg kemudian, di abad ke-20, justru dikaburkan. Bahkan pembuat film bokep menutupinya dgn samar-samar.
Baru kemudian, sekitar tahun 1980-an, sensor setengah hati itu dilepas sama sekali. Orang Jepang mulai terbiasa dgn yg eksplisit.
Terutama dlm “manga”, cerita bergambar, sugesti erotik dan kekerasan sangat populer.
Nah, dalam periode 1972-1995, ada survei terkenal oleh M. Diamond dan A. Uchiyama, memakai statistik kepolisian Jepang.
Dari riset ini, disimpulkan: justru setelah lebih bebas, angka perkosaan dan kekerasan seksual di Jepang menurun drastis.
Saya tak tahu bgm keadaan di Jepang sekarang, terutama setelah video masuk ke rumah. Ada yg menyebut, angka kejahatan seks naik.
Tapi memang ada beberapa catatan ttg pornografi, kita mulai dari Jepang: tampak tendensi sikap merendahkan perempuan dlm bokep Jepang.
Di AS, kaum feminis juga ada yg berpendapat begitu ttg pornografi ummnya. Andrea Dworkin, misalnya.
Yg lebih kurangajar: pornografi dgn menggunakan anak-anak sbg obyek seks. Bagi saya ini yg harus diperangi.
Tapi bagaimana memerangi pronografi pada umumnya, itu soal yg tak mudah. Di dunia film di AS ada usaha keras untuk itu.
Dulu ada aktris terkenal, Hedy Lamarr (1914-2000) yg filmnya., “Ecstasy” (1933) tunjukkan seorang perempuan mengalami orgasme.
Film itu diprodusir di Cekoslowakia. Di tahun 1935, itu film pertama yg dilarang masuk ke AS.
Di AS, sejak 1930, ada “Hays Code”. Dgn itu adegan telanjang, tarian sugestif, tak boleh. Dlm adegan ranjang, satu kaki hrs di lantai.
Tapi saking restriktifnya, kreatifitad dan mutu film jadi korban. Di tahun 1967, “Hays Code” dihapuskan.
Hollywood mau tak mau hrs beradaptasi dgn trend zaman, terutama setelah masyarakat AS kurang puritan sejak 1960-an.
Apalagi film dari produsen luar Hollywood kian menarik perhatian dan tak diremehkan. Terkenalnya film “Deep Throat” indikasinya.
Toh pada umumnya film Hol
lywood cukup sopan. Kapitalisme punya kepentingan utk tak jual produk yg ekstrim.
Tetapi ada perubahan: yg dulu ekstrim sekarang tidak lagi. Ada transformasi teknologi distribusi film: dr bioskop ke ruang privat.
Perubahan teknologi ini yg tak akan mudah ditaklukkan, jika pornografi melalui jalur itu. Kita tahu desentralisasi dunia maya.
Dulu, karya erotik juga beredar di ruang privat yg terbatas. Serat Centhini, misalnya, yg berisi adegan seks, termasuk homoerotika.
Ketika pelukis Bali yg hebat itu, Lempad, masih hidup, ia pernah tunjukkan gambar2 erotik karyanya dari cerita Jayaprana di kertas.
Dlm koleksi pribadi, di ruang privat — dulu dan sekarang — apa yg disebut pornografi (atau yg bermutu: erotika) tak bisa dicegah.
Kecuali kalau sebuah republik bisa punya niat dan teknik pengasawan spt negara totaliter dlm novel George Orwell “1984”.
Pada akhirnya, kekuasaan yg memaksa punya batas. Bahkan kehendak memaksa itu sendiri menunjukkan terbatasnya kuasa itu.
Pada akhirnya, bukan Negara dgn polisi dan jaksanya yg bisa mencegah warga negara menyukai laku, fantasi, dan pikiran yg erotik.
Perlawanan thd segi yg buruk dari pornografi paling efektif dilakukan di rumah sendiri. Ini pun tak akan 100% terjamin efektif.
Kalau pun tak bisa 100% pornografi dihabisi, kita tak usah terlalu cemas. Dlm sejarah, tak ada bangsa yg runtuh krn pornografi.
Bahkan pornografi bisa tersisih karena sifatnya sendiri: ia repetitif. Ia cuma menarik ketika dicoba ditutupi.
Nah, teman-teman, saya akhiri percakapan ini, yah, kul-twit ini di sini.
#porno oleh @gm_gm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment