Di bulan Puasa ada keharusan merasakan lapar. Di hari Lebaran ada keharusan untuk kekenyangan.
Yang menyenangkan setelah bulan Puasa adalah tidak ada lagi sinetron Ramadhan.
Kecerdasan tak memerlukan sinteron. Begitu juga sebaliknya.
Sinetron tidak sama dengan pornografi. Tapi sama-sama membosankan.
Para pekerja sinetron perlu diberi penghargaan. Mereka bisa tetap tidak bosan untuk membuat kita bosan.
Industri sinetron tumbuh karena permintaan pasar. Tapi permintaan itu tumbuh karena pemasaran industri sinteron.
Hiburan malam yang terbaik bagi saya (dan bagi pembantu rumah tangga saya) bukanlah sinetron, tapi bisa tidur nyenyak.
Saya tak bermaksud menjelek-jelekkan sinetron. Bagi saya, sinetron memang jelek.
***
Dgn segala hormat kpd para pembela hak asasi, saya setuju bila koruptor2 besar dihukum mati. Korupsi merusak sejahat narkoba.
Korupsi yg ada sejak 40 tahun yg lalu meruyak ke segenap sel birokrasi, dan merusak pelbagai hal di kehidupan.
Dari jalanan yg rusak sampai dgn keputusan hukum yg seenaknya, dari urusan haji sampai dgn pornografi, berlaku jalinan korupsi.
Petugas polisi hrs menyogok kolega dan atasannya utk dpt posisi baik. Guru, wartawan, menteri dan anggota DPR terima suap. Kanker!
Jika penyelundup ganja dihukum lebih berat ketimbang koruptor, berarti korupsi blm dilihat spt kanker sosial yg serius.
Hukuman mati tentu bukan satu-satunya cara. Tapi keadaan menghendaki gebrakan yg meyakinkan utk menangkal korupsi yg meluas.
Pemerintahan SBY bisa dpt dukungan moral + politik jika melancarkan perang total thd korupsi - bukan maju mundur spt sekarang.
Kini ekonomi dinilai membaik, tapi kepercayaan kpd SBY menurun. Kepercayaan bisa pulih, kalau tampak ada perang yg serius antikorupsi.
Pasti perlu waktu utk bersihkan kepolisian dan kejaksaan - belum lagi di kehakiman dan DPR. Tapi justru itu perlu langkah ekstra galak!
Kadang2 saya punya keinginan brutal: ada sederet koruptor besar dihukum gantung di depan publik dan harta mereka disita.
Corruption is more than just an immoral act. It is a destruction of a republic.
Tampaknya perlu ada sayembara utk merumuskan hukuman yg paling efektif dlm perang melawan korupsi…
***
Saya senang sekali menonton film “Sang Pencerah” @Hanungbramantyo. Kerja kamera, editing, pembuatan set (latar), casting: ulung.
Para aktor yg dipasang - termasuk utk peran selintas - hampir tanpa cacat. Akting Slamet Rahardjo dan Ikranegara mengagumkan.
Kisah awal perjuangan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah ini, juga sangat relevan utk merenungkan soal2 keagamaan hari ini.
“Sang Pencerah” adalh kisah sulitnya jadi seorang yg ingin mengubah cara, keyakinan dan kebiasaan lama, terutama dlm hal agama.
K.H. Ahmad Dahlan, dimainkan Lukman Sardi, digambarkan tak bebas dari putus-asa dan kebimbangan, menghadapi perlawanan.
Ia, seperti @ulil dan kawan2, dituduh “kafir”. Suraunya diserbu orang2 yg fanatik dan bringas, spt yg juga terjadi sekarang.
Hari2 ini kisah “Sang Pencerah” bisa diikuti terlepas dari konflik antara Muhammadiyah dan NU. Kini pembaharu juga datang dari NU.
Skenario cukup berhasil melepaskan diri dari dialog yg sarat khotbah dan diskusi yg membosankan. Cuma latar musiknya agak men-dayu2.
Ada yg keberatan @ulil dibandingkan dgn K.H. Ahmad Dahlan. Dlm hal ditentang, difitnah, dan diancam kekerasan, saya lihat paralelnya.
Yg hendak diingatkan film “Sang Pencerah” adalah perlunya sikap terbuka kpd perbedaan dan destruktifnya kekerasan atas nama iman.
Yg juga disampaikan “Sang Pencerah”: sikap beragama yg menyentuh hati, penuh pengabdian sosial, dan tak menuduh yg baru sbg “kafir”.
Tapi yg tak boleh dilupakan: sbg karya film, “Sang Pencerah” memberi harapan baru kpd perfilman Indonesia. Lepas dari themanya.
Menarik baca reaksi yg bantah saya dan kecam @ulil. Baiklah. Pesan “Sang Pencerah” justru: bukalah hati utk dengarkan yg berbeda.
Juga menarik utk salah tafsir atas Twit saya. Saya hanya menyamakan @ulil dgn K.H. Ahmad Dahlan dlm hal dituduh kafir + diancam kekerasan.
Jangan salah tafsir. Saya hanya membandingkan @ulil dgn K.H. Ahmad Dahlan dlm hal dituduh “kafir” + diancam kekerasan.
Bagi para penentangnya waktu itu, sbg digambarkan film ini, K.H. Ahmad Dahlan bukan cuma dianggap “waton sulaya”. Dimusuhi.
Pasti dlm banyak hal @ulil berbeda dari K.H. Ahmad Dahlan. @ulil gak bisa main biola, dan Ny. Ahmad Dahlan tak bikin donat.
Saya tak dapat kesan, dlm film “Sang Pencerah” ada kesan mengkultuskan K.H. Ahmad Dahlan. Sudah nonton filmnya?
Lebih baik bicara ttg pokok soal, film “Sang Pencerah”, dan tak menyimpang ke soal @ulil, ideologi, liberalisme etc.
"sinetron, korupsi, dan film" oleh @gm_gm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment