Ting! Ting! Ting! Krn Dipo Alam mengritik media, saya akan bertutur sejarah hubungan media + pemerintah. Semoga berguna.
1. “Media” kini tak bisa disikapi sbg satu kesatuan. Pengaruh, teknologi, mutu, berbeda-beda. #med
3. Ya, tiras koran umumnya tak bergerak naik. Semenrtara itu ada informasi via internet. Koran kalah cepat. #med
4. (Kalau nomor urut saya salah, maaf). Maka belum jelas apa yg dimaksud Mas Dipo Alam dgn “media”. #med
5. Yg terkadang luput dilihat: pemerintahan SBY punya problem dgn media: a. tak trampil dlm komunikasi dgn keragaman media kini. #med
6. Adanya media elektronik dan internet meningkatkan kecepatan arus informasi. Krn sifatnya, birokrasi selalu lambat bereaksi.
7. Apalagi SBY tak punya tim yg canggih, dan dia sendiri bukan komunikator yg asyik.
9. (b). Problem mendasar lain: sementara pemerintah tak bisa menutup media, dia sendiri tak menguasai media yg berpengaruh besar: TV.
10, Justru dua stasiun TV dikuasai kekuatan yg kepentingan politiknya hrs menentang posisi Presiden dlm pelbagai hal.#med
11. Maka kekuatan pemerintah terbatas: cuma bisa mengeluh dan mengancam “boikot”. Mirip pepesan kosong. #med
12. Apalagi media (khususnya TV) bertopang pada “rating”. Kalau bukan kepentingan politik, kepentingan komersial yg dituju. #med
13. Akibatnya, informasi yg kurang seru tapi penting, apalagi suara pemerintah, tak akan ditayangkan. Takut tak diminati penonton. #med
15. Sementara itu, pemerintahan SBY juga tak menunjukkan kesatu-paduan dlm informasi. Kabinet koalisi ini kadang2 kayak kuali pecah. #med
16. Ironis: ini pemerintahan yg berkuasa tapi tak punya media yg dikuasainya. Bahkan TVRI, yg milik ‘negara’, tak bisa dikendalikannya.#med
14. Dlm sejarah Indonesia, ini pengalaman pertama yg demikian. Antara 1945-1958, pers bebas penuh. Tapi blm terlanda komersialisasi #med
15. Masa demokrasi yg disebut ‘liberal’ itu partai bersaing, dan media mereka bisa saling sengit. Tapi umumnya, koran partai tak laku. #med
16. Sementara itu, waktu itu ada semangat demokrasi yg dijaga oleh satu lapisan cendekiawan yg ‘matang’ di media. Ada nama2 terkenal. #med
17. Mis. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, S. Tasrif, Inyo Beng Gwat, P.K. Oyong, Njoto, B.M. Diah: semua jurnalis + cendekiawan. #med
18. Ttg Mochtar Lubis: “Indonesia Raja”-nya sangat kritis pd Bung Karno. Koran ini yg membongkar perkawinan Bung Karno dgn Hartini.#med
19. Kemudian, setelah demokrasi ‘liberal’ diganti “demokrasi terpimpin”, Mochtar Lubis dipenjarakan, seluruhnya 9 tahun. Tanpa diadili. #med
20. Tapi Mochtar bukan pembenci pribadi Bung Karno. Ada satu karikatur yg ia tolak keras, karena menggambarkan Bung Karno dgn menghina.#med
21. Artinya, ada “adab” yg dipegang: kritis, tapi tak mau tampilkan tokoh publik (apalagi Presiden) dgn benci dan cemooh. #med
15. Sayangnya, suasana itu dihabisi ‘demokrasi terpimpin’. Sejak 1958, pers bisa dibredel, harus pakai surat ijin terbit dan cetak. #med
16. Setelah ‘demokrasi terpimpin’, dgn Bung Karno sbg Pemimpin Besar Revolusi, runtuh, datang Orde Baru. Yg lanjutkan pengekangan itu. #med
17. Kemudian datang ‘Reformasi’. Media bebas sejak di bawah Pres. Habibie. Tapi kemudian komersialisasi tak bisa dicegah. Sampai kini. #med
18. Juga cita-cita untuk pers yg bersih, yg wartawannya tak minta dan terima suap, belum tercapai. Untung masih ada yg bersih. #med
19. Tragis jika baik yg pro dan yg anti pemerintahan nanti membayar karya jurnalisme utk mendukung. Saya harap, yg mandiri tak takluk! #med
20. Sekian. Maaf jika ada yg tak tepat dikatakan. Saya tak aktif langsung dlm jurnalisme (kini di kesenian), maka bisa saja saya keliru.#med
Tambahan: Mengeluh itu mudah. Mengecam itu kadang memuaskan. Tapi yg diperlukan: melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. #med
No comments:
Post a Comment